INKLUSIF KOMUNITAS “MONGEMO” BERBASIS KONSERVASI

INKLUSIF KOMUNITAS “MONGEMO” BERBASIS KONSERVASI
Share
Komunitas adat To Kulawi Uma di Moa merupakan komunitas adat yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Kulawi Selatan. Meskipun demikian kebudayaan yang ada di desa Moa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan “Topo Uma” yang ada diwilayah Kecamatan Pipikoro. Konon bahwa terbentuknya sebuah komunitas adat di Moa berawal dari datangnya, seoarang pemuda bernama Sugi yang suka berburu di wilayah tersebut dan memutuskan-
untuk tinggal dan menetap di wilayah Moa. Sugi adalah anak dari kepala suku yang bernama Sangkila dari daerah Lempe Pangana desa Banasu yang hari ini telah menjadi kampung tua di wilayah Pipikoro. Bahasa sehari–hari yang digunakan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa “Uma”, seperti halnya kebiasaan komunitas Topo uma yang ada di wilayah Pipikoro.
 
Beberapa kebiasaan komunitas adat “Topo uma” di Pipikoro yang juga kita bisa lihat di desa Moa salah satunnya adalah aktivitas “Mongemo”. Kegiatan ini adalah usaha mencari emas di sepanjang sungai lariang atau disekitar sungai kecil yang dianggap berpotensi memiliki kandungan emas dengan cara bersama-sama. Alat – alat yang digunakanpun semuanya masih serba tradisional yang bahan bakunya semua terbuat dari kayu. 

Aktivitas ini adalah merupakan rangkaian dari siklus kegiatan yang dilakukan sesudah selesai menanam padi di kebun ladang. Sembari menunggu musim panen, masyarakat Moa selalu melakukan kegiatan ”mongemo” sebagai alternatif untuk menunjang kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sebelum malakukan aktivitas “mongemo”, komunitas adat di Moa terlebih dahulu akan melakukan upacara adat dengan menyembelih seekor babi, setelah itu babi akan dimasak untuk dimakan secara bersama-sama seluruh masyarakat Moa. Upacara ini diyakini sebagai ritual adat “Merapi hi Karampua tana bo langi”, (Meminta kepada yang memiliki kuasa atas tanah dan langit) agar dalam berusaha “mongemo” bisa mendapatkan hasil dan terhindar dari segala bahaya.

Untuk lokasi yang akan dijadikan tempat “mongemo” akan diputuskan oleh tua –tua adat melalui musyawarah adat, sekaligus juga akan menetapkan bentuk larangan yang pantang untuk dilanggar oleh masyarakat yang akan melakukan kegiatan “mongemo” atau dalam bahasa umanya disebut dengan ”palia”. Hal –hal yang dianggap pantang atau “palia” adalah wilayah–wilayah yang dianggap kramat oleh masyarakat adat dengan melihat ciri–ciri yang area tingkat kemiringannya sangat tinggi. Dalam perspektif masyarakat Adat Moa bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang ada penghuninya sehingga tidak boleh ada kegiatan dilakukan diarea tersebut. Jika melihat konteks konservasi Negara, hal ini dapat disimpulkan bahwa konservasi yang berbasis adat sama penerapanya dengan yang dilakukan oleh Negara.(Jurnalis Kampung)

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel