Catatan Perjalanan : Membelah Hutan di Pedalaman Sulawesi

Catatan Perjalanan : Membelah Hutan di Pedalaman Sulawesi
Share
Chris Al Munawarah | Jurnalis Mogabay Indonesia

Foto by : crist

HIDUP ADA DI TANGAN JHON. Jhon Nuru, tukang ojek yang mendampingi saya selama tiga hari membelah hutan di pedalaman Sulawesi. Ia adalah salah satu tukang ojek yang setiap hari menantang maut; melewati jalan yang lebarnya tak lebih dari satu meter,-di kanan tebing, di kiri jurang dengan kedalaman 15 sampai 100-an meter. Bahkan dibeberapa tempat lebar jalan hanya seukuran ban motor.
Melintasi Jembatan Marato /Foto : Crist
Awalnya, musim kemarau yang berkepanjangan membuat saya tak gentar ketika dibonceng oleh Jhon. Motor pabrikan Jepang miliknya yang telah dipreteli itu berhasil membawa saya ke satu perkampungan di puncak dengan durasi waktu 5 jam. Itu pun harus istirahat dibeberapa titik. Tapi sejak dua malam menginap di perkampungan di hutan Sulawesi itu, hujan mengguyur. Kami dianggap membawa berkah.
Tapi kekhawatiran terus membayangi kepala saya. Sebab jalan yang harus dilewati dipastikan basah dan akan sangat berbahaya bagi ojek. Jhon meyakinkan saya bahwa itu tidak jadi soal. Mereka sudah hidup bertahun-tahun di kampung itu. Dan ia sendiri memiliki pengalaman sebagai ojek di situ selama lima tahun.

Dan tibalah saya harus turun gunung keluar hutan. Jhon bersiap mengantarkan saya. Mula-mula semuanya berjalan mulus. Namun ketika melewati satu tanjakan dengan kemiringan yang curam serta basah, roda depan motor Jhon terangkat. Saya nyaris terbalik dan jatuh ke jurang. Jhon cepat mengimbangi seraya tubuhnya menindih roda depan. Saya mendadak islam. Doa-doa mulai keluar dari dalam hati. Jhon tersenyum. "Sekarang, hidup ini ada di tangan Jhon," kata saya dalam hati.

Jhon Nuru : Handal dimedan Pipikoro/ Foto : Crist
Setelah berjalan lagi, beberapa kali saya menengok ke bawah jurang. Di sana sudah menunggu air yang deras dan batu-batu berukuran besar. Kalo saya phobia ketinggian, sudah dari tadi saya mati ketakutan. Dalam perjalanan saya dipermainkan oleh pikiran, bagaimana kalau-kalau saya jatuh ke bawa.
Dan saat menghayal itu, tiba-tiba motor Jhon kembali mengeluarkan suara meraum yang keras. Ia dihadapkan dengan tanjakan yang sama seperti kejadian awal. Sialnya, roda depan motor Jhon terangkat lagi. Untuk kedua kalinya, saya nyaris terjatuh dan sudah ditunggu oleh mulut jurang. Wajah saya memutih. "Hati-hati Jhon!" 

Jhon orang yang pendiam. Ia kembali hanya melemparkan senyum ketika bahaya sudah di depan mata. Motornya dipacu lagi. Dan sebagian besar jalan yang ekstrim telah berhasil kami lalui. Karena keasyikan, ia balapan dan terlihat seperti Valentino Rossi di sirkuit Sepang. Namun kali ini ia lengah. Di jalan yang sebenarnya sudah dibeton dan melewati kebun-kebun cokelat milik warga, ia harus melewati tanjakan dengan belokan yang tidak terlalu tajam.
"Prakkkkkk!!!" 
Ban roda depan terpeleset. Motor kami jatuh. Saya merepson dengan menjatuhkan diri ke rerumputan samping jalan beton. Hal pertama yang saya pikirkan saat kecelakaan itu adalah mengamankan kamera, lalu mengabadikan moment kecelakaan Jhon. Tapi saat saya hendak memotret Jhon dengan motornya, ternyata Jhon lebih cepat berdiri dan segera mengambil motornya. Lalu ia tertawa. Barangkali ia tak ingin reputasinya sebagai ojek penantang maut di kampungnya turun rating gara-gara kecelakaan itu.
"Tenang, ini kecelakaan santai namanya," kata Jhon.
Busyetttt. Baru kali ini saya dengar istilah kecelakaan santai. Jhon benar-benar membuat saya berdoa dan memaksa dalam hati untuk bilang, "Hidup itu ada di tangan dan kakinya Jhon." 

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel